Jakarta – Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Indonesia Rahmat Bagja menyatakan belum ditemukan adanya dugaan pelanggaran pemilu yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Dia juga menyebutkan ada hal-hal yang harus dibuktikan mengenai dugaan pelanggaran TSM yakni mengenai adanya perintah tertulis hingga pembuktian pidana.
“Namun, kita akan lihat misalnya apa yang dilakukan, ada command responsibility, ada perintah tertulis, ada kemudian terbukti pidananya, itu yang harus dibuktikan dalam pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif,” tutur Bagja dalam keterangan tertulis, Selasa (27/2/2024) yang dinyatakan dalam wawancara di salah satu stasiun televisi.
Bagja menegaskan pihaknya belum menemukan adanya temuan maupun laporan tentang hal itu karena alat bukti yang disampaikan terkait dugaan pelanggaran TSM harus tepat.
“Sampai sekarang belum ada, laporan sampai sekarang belum ada, temuan juga demikian. Saya bilang belum ada ya, bukan tidak ada. Kemudian ada tentang pengerahan kepala desa misalnya. Apakah kemudian ada perintah, yang harus dibuktikan dan yang namanya alat bukti kan harus precise (tepat),” ujarnya.
Menurutnya, hal tersebut perlu menjelaskan mengenai orang yang memerintahkan apabila terdapat orang yang memerintah, serta bentuk bukti yang diajukan.
“Ada dan bagaimana, dan ada siapa yang memerintahkan. Aparat negara siapa aparat negaranya, buktinya seperti apa, bagaimana pembuktiannya,” ujarnya.
Bagja juga lanjut menjelaskan mengenai empat kategori pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran administrasi, pelanggaran tindak pidana pemilu, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan pelanggaran hukum lainnya. Soal kecurangan, Bagja menyebut dugaan TSM harus dapat dibuktikan dengan jelas dan tepat.
“Itu pembuktiannya harus clear, precise, jadi nggak boleh apa, ada misalnya dalam pelanggaran TSM di Bawaslu, kalau nggak salah Perbawaslu Nomor 7 atau Nomor 8 tentang Pelanggaran TSM, misalnya kuantifikasinya 50 persen,” katanya.